Thursday, September 8, 2011

Setelah Revolusi Arab

Di TUNIS.  Poster dengan gambar seorang wanita di tengah aksi demo terpampang di sejumlah kantor salah satu partai politik di Tunisia.

 Seolah menyiratkan kekhawatiran yang dirasakan kebanyakan warga Tunisia, wanita itu mengusung sebuah pamflet sederhana dengan tulisan ”Para syuhada tidak mati untuk kediktatoran baru’’.

Ya, sembilan bulan setelah revolusi melengserkan Presiden Zine al-Abdine Ben Ali dan menyulut gerakan politik di seluruh dunia Arab, warga Tunisia masih diliputi kecemasan  kalau-kalau perubahan yang mereka perjuangkan ternyata memudar di tengah jalan.

Sebagian besar orang di negara berpenduduk 10 juta jiwa itu memang merasa bangga karena revolusi yang mereka gelorakan menular ke berbagai belahan dunia Arab. Mereka pun sangat bersemangat untuk memberikan contoh kehidupan berdemokrasi dengan menggelar pemilu pada Oktober mendatang.

Namun sebagian lainnya sangat mengkhawatirkan kembalinya para loyalis Ben Ali. Mereka takut orang-orang yang setia kepada Ben Ali akan kembali ke lingkaran kekuasaan dan bermain di balik layar untuk menggagalkan perubahan yang sesungguhnya.

Mereka juga mengkhawatirkan potensi perpecahan, terutama terkait kembali berperannya kelompok Islam di negeri itu. Mereka cemas hal itu akan mengganggu transisi Tunisia menuju demokrasi dan membuat masalah ekonomi yang membelit negara itu semakin sulit diatasi.

Hal serupa juga dirasakan warga Mesir saat ini. Setelah Hosni Mubarak tumbang, kekuasaan dipegang oleh dewan transisi militer yang notabene merupakan orang-orang yang dulunya berada di lingkaran sang mantan diktator. Sebagian penduduk khawatir, mereka kini diperintah oleh diktator yang lain.

• Euforia Tripoli

Di Libia, euforia masih dirasakan warga setelah Tripoli jatuh ke tangan pasukan antirezim Muammar Gaddafi walau keberadaan sang mantan pemimpin bertangan besi itu belum diketahui. Setidaknya mereka kini mempunyai harapan. Namun demikian, mereka tetap gamang menghadapi masa depan.

Di Bahrain, para demonstran dibubarkan dan ratusan di antaranya ditahan. Tindakan yang lebih represif didapati di sejumlah tempat lain seperti Suriah dan Yaman.

Semua itu membuat masyarakat Tunisia bertanya-tanya, mampukan revolusi Arab memberi yang lebih dari sekadar penumbangkan para diktator?

”Kita berada pada fase transisi,” kata Moncef Marzouki, mantan pegiat politik Tunisia yang kini menjadi ketua Partai Kongres Republik.

”Masalahnya, saya khawatir fase transisi itu akan berlangsung lama dan lebih sulit dari yang kami bayangkan. Masyarakat di sini mengira revolusi bak keran yang bisa membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya, namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Akankah kita mampu mendirikan sebuah negara baru dengan presiden, pemerintahan, dan parlemen yang baru? Semua masih menjadi tanda tanya besar dan hal itulah yang sulit pada fase ini, ketiadaan kejelasan.’’

Sejak Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari, terdapat lebih dari 100 partai yang mendaftar untuk mengikuti pemilu. Sepuluh yang paling besar telah ada sebelum revolusi. Hanya segelintir partai kecil baru yang memiliki harapan untuk mendulang suara dalam pemilu.