Wednesday, September 21, 2011

Rakyat Afghanistan Berkabung - Pembunuhan Burhanuddin Rabbani

Rakyat Afghanistan kemarin berkabung atas meninggalkanya mantan presiden Burhanuddin Rabbani (71) yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri di rumahnya di Kabul pada Selasa (20/9) siang. Insiden pembunuhan itu mengancam Afghanistan terseret dalam konflik baru.

Rabbani yang menjabat Ketua Dewan Tinggi Perdamaian Afghanistan pernah memimpin negara itu pada 1992-1996 semasa perang saudara dan dikenal gigih memperjuangkan HAM bangsanya. Dia dibunuh oleh pelaku bom bunuh diri yang diyakini merupakan pembawa pesan khusus dari kelompok militan Talib.

Meski belum ada komentar atau klaim resmi dari Talib, kasus pembunuhan itu membuyarkan harapan untuk mengakhiri 10 tahun peperangan antara kelompok militan dan pemerintah Afghanistan yang didukung pasukan koalisi Barat.

Presiden Hamid Karzai bergegas pulang ke Kabul dari lawatannya di Amerika Serikat dan langsung memimpin sidang kabinet darurat untuk membahas rencana pemakaman jenazah Rabbani secara resmi.

“Kemungkinan pemakamannya dilaksanakan besok (Kamis-Red) atau malah lusa. Beliau akan dimakamkan di Kabul lokasi pastinya belum ditentukan,” ungkap Sataar Murad, juru bicara Partai Jamiat-i-Islami yang diketuai Rabbani.

Pembunuhan Rabbani merupakan kasus pembunuhan tokoh politik tingkat tinggi sejak invasi pimpinan AS pada 2001 yang berhasil menggulingkan pemerintahan Talib.

Penengah
Rabbani mengetuai Dewan Tinggi Perdamaian yang dibentuk Karzai tahun lalu dan bertugas sebagai penengah untuk melakukan kontak dan dialog dengan kelompok-kelompok militan. Namun usaha-usahanya sejauh ini kurang membuahkan hasil yang signifikan.

Karzai menegaskan, kasus pembunuhan Rabbani tidak akan menghalanginya untuk melanjutkan usaha-usaha yang telah dimulai pemerintah. Presiden AS Barack Obama menyatakan, rakyat Afghanistan harus “diberi jaminan untuk bisa hidup secara bebas, aman, dan sejahtera”.

Sementara Komandan NATO di Afghanistan Anders Fogh Rasmussen menekankan, mereka yang berada di balik pembunuhan itu “tidak akan bisa menang”.