Sunday, September 11, 2011

Agung Bhaktiyar, Dokter Putra Tukang Becak

Awalnya Malu, Lama-lama Bangga

Anak pasti bangga dengan profesi orang tuanya, apa pun itu. Begitu pula Agung Bhaktiyar yang beberapa waktu lalu lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran UGM. Ia tak pernah menyembunyikan jati diri dan pekerjaan ayahnya yang merupakan tukang becak dan ibunya yang sehari-hari mencari nafkah sebagai pemulung.

‘’Namun sebagai manusia, ketika
awal-awal masuk kuliah ada juga perasaan malu, minder, dan bermacam-macam perasaan yang nggak karuan,’’ ungkap Agung yang seperti bapaknya, Suyatno, juga terlihat lugu dan apa adanya.

Perasaan malu dan minder dianggapnya wajar, karena siapa pun yang berada pada posisinya pasti merasakan hal yang sama. Berada di lingkungan calon dokter yang sebagian besar berasal dari kalangan orang berpunya tentu membawa nuansa tersendiri.

Agung menguatkan tekad, bukan mereka saja yang bisa mencapai cita-cita, anak tukang becak pun memiliki hak yang sama. Tekad kuat, dorongan orang tua, serta pengorbanan kakak-kakaknya yang

bersekolah sampai bangku SMA saja, menjadikan dia semakin bersemangat menempuh kuliah, kendati berada di lingkungan yang jauh dari kehidupannya. Dia pun tak ingin menyembunyikan jati diri dan keluarganya. Agung terus terang mengakui dan bangga pada pekerjaan orang tuanya, tukang becak dan pemulung.

‘’Lama-lama hilanglah perasaan malu, minder. Teman-teman tak pernah memandang lain, semua sama. Saya cerita apa adanya soal keluarga. Alhamdulillah, selama di kampus hingga kini tak ada persoalan,’’ ujar lulusan SMA Negeri 6 Yogyakarta itu.

Tak Ada Paksaan

Kedua orang tua Agung, Suyatno dan Saniyem, tak pernah memaksakan kehendak agar dia kuliah di fakultas tertentu. Mereka hanya ingin si anak bisa melebihi bapaknya yang hanya tamat Sekolah Rakyat (SR) dan ibunya yang tak pernah menikmati bangku sekolah.

Semua mengalir apa adanya. Agung tumbuh sebagai anak biasa di lingkungan rumahnya yang sangat padat, berimpitan satu sama lain dan bertembok gedhek (anyaman bambu) di pinggir Kali Code. Di sanalah dia belajar dengan segala keterbatasan.

‘’Tak pernah ada paksaan dari orang tua ataupun kakak. Semua mengalir begitu saja. Mereka hanya mengingatkan supaya saya belajar semaksimal mungkin, biar ada salah satu (anggota keluarga) yang jadi orang. Semua kakak ikhlas, biar saya saja yang sekolah tinggi menggapai cita-cita,’’ tutur Agung.

Suyatno yang tak ingin meninggalkan mbecak di hari tuanya menganggukkan kepala mengamini cerita Agung. Dia mengatakan, sebagai orang tua wajib membantu dan membiayai anaknya. Sebagian uang jerih payah mengayuh becak selama seharian digunakan untuk makan sehari-hari, lainnya untuk keperluan Agung.

Di mata Suyatno dan Saniyem, anak bungsunya itu tak beda dari anak lainnya. Ketika duduk di bangku SMP, Agung juga suka main play station (PS) seperti kebanyakan anak seusianya. Kadang-kadang ‘’nyolong-nyolong’’ supaya tak ketahuan. Memang, sejak kecil Agung sekali waktu bergumam ingin menjadi dokter. Cita-cita yang menurut Suyatno awalnya terasa sangat jauh bagi keluarga sangat sederhana itu, tapi sekarang jadi kenyataan.

‘’Saya tak pernah ngoprak-oprak melarang main PS, hanya mengingatkan aja kerep-kerep dolanan PS. Eman-eman dhuite, isa kanggo liyane,’’ begitu Suyatno mengingatkan anaknya.

Di tengah cucuran keringat orang tua yang tiap hari kepanasan dan kehujanan, Agung mampu mewujudkan mimpi dan cita-citanya. Harapan orang tua supaya dia jadi orang, terlaksana sudah. Kini Agung ingin mempersembahkan apa yang telah dicapainya untuk orang tua dan keluarga besarnya, serta meniti karier lebih jauh di bidang kedokteran.