Saturday, September 10, 2011

Lurah ”Sinting” dari Tanah Genting

Festival Anak Genting 

Secara leksikal, sinting adalah bertukar/berubah/sesat akal, serta gendheng, edan, atau gemblung dalam bahasa Jawa. Senewen, kata orang Jakarta.

”Saya terima julukan itu. Itu apresiasi terhadap sikap saya, yang mungkin dinilai kontroversial atau ngotot. Ya, saya memang ngotot mengubah pola pekebun yang kadung mapan menanam kopi dan sengon untuk beralih menanam buah unggul,” kata Bambang, Rabu (7/9). ”Saya memimpikan, kelak, Genting jadi sentra buah unggulan.”

Desa Genting terdiri atas 13 kabekelan, yang meliputi Kabekelan Genting, Kalitangi, Sodong, Wora-wari, Gintungan, Kalipucung, Sedono, Plimbungan, Gedeg, Tompak, Kalidukuh, Dlimas, dan Ngrawan.
Desa seluas 740 hektare yang meliputi 650 hektare tanah perkebunan, 7,5 hektare sawah, dan sisanya hunian itu berada di ketinggian 825 meter di atas permukaan laut (dpl). Penduduk desa itu 4.993 jiwa atau 1.325 kepala keluarga /dengan 363 rumah tangga miskin. Sebagian besar (80 persen) penduduk bermata pencaharian sebagai petani sawah dan kebun.

Tentu tak gampang mengubah kemapanan. Karena itu dia pun menempuh berbagai cara untuk meyakinkan penduduk warga. ”Tahun 2008, upaya saya mulai membuahkan hasil. Saat itu, Yayasan Obor Tani memberikan hibah Rp 1,6 miliar berupa pembangunan embung plastik geomembran untuk menampung air hujan. Dengan konsekuensi, warga mau menanam kelengkeng itoh di lahan 20 hektare di seputar kawasan embung,” ujar dia.

Kengototan itu berkait dengan obsesi Bambang menjadikan Genting sebagai desa wisata — di luar desa-desa yang ditentukan Pemerintah Kabupaten Semarang sebagai desa wisata. Itu menjadi semacam ”garis besar haluan desa”: ke mana dan untuk apa seluruh sumber daya manusia dan alam desa itu mesti didayagunakan.

Tak Main-main

Dia tak main-main. Pada setiap kesempatan, baik pertemuan formal maupun informal, dia senantiasa menyebarluaskan gagasan untuk mewujudkan Genting menjadi desa wisata. Semua itu, kata dia, bermula dari tahun 2006. ”Saat itu, seiring dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas dunia, saya berpikir: apa yang bisa dijual dari Genting untuk mewujudkan kemakmuran warga?” tutur dia.

Dia pun menginventarisasi potensi dan kekayaan sumber daya alam dan manusia di desanya. Dan, dia makin yakin Genting bisa dijual sebagai desa wisata. Karena, desa itu memiliki kekayaan dan keindahan alam serta kaya tradisi budaya, seni, dan kuliner, dengan karakter masyarakat yang kuat dan guyub. Apalagi setiap kabekelan mempunyai unggulan masing-masing.

”Kalitangi, misalnya, punya seni balajad yang hanya mungkin disaksikan di Genting atau ketika kami mengikuti festival seni di luar daerah. Di Kalidukuh ada tari prajuritan, reog, soreng, dan ketoprak. Sodong pusat budi daya jamur, yang sudah menjual pula dalam bentuk olahan dengan pasar Bali, Sumatera, Jakarta, Bandung, Kalimantan,” ucap dia. Selain itu, lanjut dia, di berbagai kabekelan lain ada perajin anyaman bambu, lidi, eceng gondok, pelepah pisang.

Dia pun mulai menata dan mengemas acara tradisi menjadi ”sesuatu yang bisa dijual”. Misalnya, Gelar Budaya Kiai Sutopati di Kalidukuh dan arak-arakan jajan pasar di Genting pada bulan Ruwah. Juga merti dusun di semua kabekelan. Desa itu juga menyelenggarakan Festival Reog Antarkabupaten dua tahun sekali, yang sampai kini sudah empat kali terlaksana, serta mengikuti ekspo dan pameran kerajinan di Kota Semarang, Yogya, dan Batam. Pemuncak acara adalah Festival Genting, yang tahun ini direncanakan diadakan pada Oktober nanti. Festival itu, kata dia, merupakan ekspose seluruh potensi desa, yang bisa dipilah menjadi pesta anak, pesta kuliner, pesta seni budaya, dan lain-lain.

Beberapa kali dia juga mengajak para perangkat desa dan kabekelan serta tokoh masyarakat dan petani studi banding ke kebun buah unggulan Plantera di Ngebrug, Kendal. ”Kami juga mengadakan pelatihan seni tradisi, kepariwisataan, kuliner. Untuk menyelenggarakan pelatihan itu, kami bekerja sama dengan USM (kuliner), Unissula (bidang hukum), Unika Sugijapranoto (pengemasan dan pemasaran makanan), UKSW (bidang pertanian),” tutur Bambang.

Pelatihan meliputi pembuatan kerajian berbahan eceng gondok, bambu, dan lidi; pelatihan kuliner yang berkait pula dengan pengemasan dan manajemen pemasaran; pelatihan seni tari, musik, dan seni rupa. ”Kami mendatangkan kelompok musik bambu Mpu Palman Jepara untuk memberikan pelatihan membuat dan memainkan alat musik dari bambu. Untuk pelatihan tari, kami mengundang Yoyok B Priyambodo dari Sanggar Seni Tari Greget Semarang,” katanya. ”Kami juga pernah mementaskan pembacaan puisi Timur Sinar Suprabana, Eko Tunas, Sukamto, Marco Mardi serta Roda Gila dan Kelab-kelib Bersaudara.”

Mengatasi Hambatan

Selain keberhasilan berupaya, tentu selalu ada hambatan dalam mewujudkan segala impian itu bukan? ”Tentu saja. Kendala kami, tak semua elemen masyarakat mengerti apa tujuan desa wisata. Itu karena wawasan, kebelummengertian manfaat, dan ada gambaran bahwa desa wisata pasti seperti Bandungan. Ya, Anda tahu, Bandungan identik dengan ‘ada kamar’ — pelesiran berbau seks komersial. Hambatan lain adalah infrastruktur. Karena jalan sempit dan medan berkelok dengan turunan tajam dan tebing tinggi di bahu jalan, manuver kendaraan besar semacam bus pun kurang lincah,” tutur dia.

Kini, dia merasa berbesar hati lantaran impian menjadikan Genting sebagai desa wisata memperoleh respons positif dari berbagai pihak. Beberapa kali Gubernur Bibit Waluyo, juga Wakil Gubernur Rustriningsih, berkenjung ke desanya. Juga beberapa tokoh nasional, antara Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso dan Hari Tjan Silalahi. ”Kami merasa sangat terbantu dengan pemberdayaan tani oleh Yayasan Obor Tani yang dipandegani Pak Budi Dharmawan dan Pak Ismangun Notosaputro. Kawasan embung itulah, kelak, yang menjadi masterpice wisata di Genting.”

Pemerintah pun, kata dia, telah memfasilitasi upaya Genting menjadi desa wisata. Wujudnya antara lain jika desa mengajukan usulan pelatihan sadar wisata, pemerintah pun mengadakan pelatihan itu. Bentuk lain adalah kepercayaan pemerintah pada Genting menjadi tuan rumah acara berskala nasional, seperti Bakti Pemuda Antarprovinsi serta Latihan Dasar Kepemimpinan bagi Pemuda dan Pelajar Tingkat Kabupaten 2010. ”Kami juga dipercaya mengadakan pelatihan badan koordinasi penyuluhan tingkat provinsi bidang pertanian, perikanan, dan lain-lain,” ucap dia.

Bagaimana respons masyarakat kebanyakan? ”Bagus. Di Genting, kini, ada bank sampah. Kami memilah sampah organik dan anorganik. Sampah organik kering, misalnya, kertas disetorkan ke bank sampah. Juga sampah anorganik berupa plastik. Penyetor menerima uang yang dimasukkan buku tabungan, yang setiap hari raya bisa diambil sebagai tabungan.”

Sampah yang disetor lalu dibuat barang kerajinan sebagai suvenir. ”Kesadaran masyarakat soal kebersihan pun meningkat. Ada gerakan Jumat atau Minggu Bersih. Kami juga membuat peraturan desa yang melarang orang merokok di dalam balai desa.”

Bagaimana bisa peraturan itu berjalan? Bukankah sampean pun perokok? ”Siapa pun, bahkan saya sekalipun, tak diperbolehkan merokok di balai desa. kalau tak bisa menahan keinginan mkerokok, ya saya keluar kawasan balai desa,” katanya.

Yang mengembirakan, tutur dia, sekarang sudah ada 30 keluarga yang bersedia menjadikan rumah mereka untuk home stay. ”Kami sudah berkali-kali memanfaatkan home stay itu, antara lain saat pelaksanaan bakti pemuda yang lalu.”

Dan tinggal di Genting terbukti membuat orang ingin kembali ke sana. Itulah, misalnya, yang dialami Tirawati Tisna dan dua kawannya. Ketiga gadis dari Banten itu adalah peserta Bakti Pemuda Antarprovinsi pada 10 Juni-12 Juli lalu. Beberrpa hari lalu, mereka kembali ke Genting dan menginap lagi di rumah penduduk, tempat mereka dulu menginap. ”Rindu. Kami merasa punya kenangan yang tak pernah hilang. Kami pun merasa punya keluarga baru di sini,” ucap Tira.