Monday, September 12, 2011

Siapkah Palestina Menjadi Negara Berdaulat

Kantor Kementerian Perencanaan Palestina di Ramallah terlihat sibuk sejak pekan lalu. Para staf menyelesaikan berkas laporan penting yang bakal disampaikan dalam sidang tahunan Majelis Umum PBB di New York City pada akhir bulan ini.

Laporan itu berisi semacam pengkajian perencanaan menyeluruh yang disebut Fayyad Plan, diambil dari nama PM Palestina Salam Fayyad. Pria paruh baya ini sangat disukai oleh para pemimpin Barat. Integritas dan talentanya selalu dipuji dalam setiap kesempatan pertemuan internasional.

Pada Agustus 2009, Fayyad menyatakan bahwa dia butuh waktu dua tahun untuk membangun landasan sebuah negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, yang nantinya akan langsung diproklamasikan kepada masyarakat internasional.

“Inti yang ingin disampaikan dalam laporan ini adalah bahwa kami siap mengelola negara sendiri. Kami mengacu pada laporan-laporan yang dibuat Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Kedua lembaga itu mengakui bahwa Otorita Palestina telah berhasil membuat kemajuan sehingga berhak mendirikan negara yang sesungguhnya,” papar Bashar Juma’a, pejabat senior di Kementerian Perencanaan Palestina.

Berkas dokumen tersebut harus sejalan dengan langkah-langkah diplomatik yang telah dilakukan oleh kepemimpinan Palestina, yang menginginkan PBB meninjau ulang dan menaikkan status Palestina dari entitas pengamat menjadi negara anggota penuh PBB.

Presiden Mahmoud Abbas pasti akan mengawal berkas pengajuan itu sebaik mungkin agar bisa mendapatkan dukungan dari sebagian besar negara anggota. “Setelah mempersiapkan diri selama beberapa dasawarsa, kini kami telah benar-benar siap dan kami harus membuktikannya. Kami tidak semujur Sudan Selatan yang langsung diakui masyarakat internasional begitu mereka memprokamasikan diri,” tandas Juma’a.

Pencapaian Kemajuan

Otorita Palestina bangga dengan kemajuan yang telah dicapai di bidang pemerintahan. Defisit anggaran turun dari 29% Produk Domestik Bruto (GDP) pada 2007 menjadi 16% tahun lalu, berkat upaya-upaya insentif yang tegas dalam pembayaran tagihan air dan listrik serta cara pengumpulan pajak yang semakin baik. Semua itu telah meningkatkan pendapatan sebesar 50% antara tahun 2009 dan 2010.

Musim semi lalu atau awal tahun ini, seorang diplomat Prancis menyatakan bahwa pencapaian semacam itu sangat luar biasa, terutama untuk ukuran sebuah otorita non-negara. Tudingan-tudingan Israel bahwa orang-orang Palestina adalah teroris, tidak kompeten, dan korup kini tidak berlaku lagi. Fayyad telah meletakkan landasan bagi terbentuknya sebuah negara yang sesungguhnya.

Namun, langkah-langkah tersebut belumlah cukup untuk menstabilkan anggaran pemerintahan Palestina yang tengah menghadapi defisit yang cukup parah. Pada Juli lalu, para karyawan atau pekerja hanya memperoleh separo gaji karena keterlambatan pencairan bantuan keuangan yang dijanjikan.

Kinerja ekonomi juga cukup mengecewakan. Fayyad seharusnya bisa berperan lebih baik mengingat dia pernah bekerja di IMF. Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Badan Bantuan untuk Pengungsi Palestina milik PBB, standar hidup warga di Tepi Barat turun pada akhir 2010, sementara pengangguran meningkat dari 23,5% menjadi 25%.

Adapun menurut Bank Dunia, geliat investasi di Ramallah serta kenaikan angka pertumbuhan GDP naik dari 8% menjadi 9% belum benar-benar merefleksikan kinerja pembangunan yang sebenarnya karena terkendala oleh pembangunan pos-pos penjagaan tentara Israel. Yang terlihat justru pertumbuhan bantuan dari masyarakat internasional.

“Di sebuah negara yang hampir tidak memiliki kekuasaan atas sumber-sumber ekonominya, adalah omong kosong untuk berbicara soal pembangunan,” ujar Sam Bahour, konsultan manajemen.

Kendati Uni Eropa menginvestasikan puluhan juta dolar dalam pembangunan kantor-kantor pabean Palestina, Israel masih menolak pengaktifan kantor-kantor tersebut di Jembatan Allenby yang merupakan perbatasan antara Tepi Barat dan Yordania, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1990-an.

Perselisihan yang terus berlangsung antara Hamas yang menguasai Jalur Gaza dan Fatah yang berkuasa di Tepi Barat, telah menganggu implementasi Rencana Fayyad. Tidak adanya parlemen, puluhan undang-undang tidak bisa disahkan sehingga menghambat tugas modernisasi perdana menteri, terutama di Departemen Kehakiman.