Di Hari Kamis sore yang teduh pada 1977, belasan ibu bertudung putih berhimpun di Plaza de Mayo di depan Casa Rosada, istana kepresidenan Argentina. Berbanjar dua, mereka berjalan perlahan-lahan mengelilingi plaza. Setengah jam berlalu, aksi ibu-ibu yang sebagian telah uzur itu pun usai.
Pekan-pekan berikutnya, pada hari dan waktu yang sama, mereka kembali datang ke plaza. Tetap mengenakan tudung putih, ibu-ibu itu melakukan aktivitas serupa. Berkumpul di depan istana adalah bentuk protes atas hilangnya anak dan anggota keluarga mereka akibat kemelut politik di Argentina. Atas nama stabilitas, junta militer di bawah kwarted Jenderal Jorge Rafael Videla, Roberto Eduardo Viola, Leopoldo Galtieri dan Reynaldo Bignone, menculik, menyiksa, serta menghilangkan nyawa puluhan ribu warga yang dianggap membahayakan kekuasaannya.
Ibu-ibu malang itu bagai tak pernah lelah berjuang. Setiap Kamis sore, mereka terus menggelar aksi damai di Plaza de Mayo. Tak hanya sebulan-dua bulan, aksi yang kemudian dikenal sebagai Las Madres de Plaza de Mayo itu berjalan selama tiga dasawarsa!
Para ibu itu sesungguhnya tengah berjuang melawan lupa. Dengan tekun, mereka mengingatkan masyarakat pada pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa. Las Madres de Plaza de Mayo seperti melaksanakan titah Mirek dalam novel The Book of Laughter and Forgetting karya Milan Kundera: “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”
Apa yang dilakukan ibu-ibu di Argentina menginspirasi gerakan serupa di belahan dunia lain, tak terkecuali di Indonesia. Di sini, keluarga dan korban pelanggaran HAM berat yang konon dilakukan oleh penguasa, menggelar aksi Kamisan di depan Istana Negara. Mereka antara lain, keluarga korban kerusuhan Mei 1998, aktivis yang hilang, peristiwa Semanggi I, Semanggi II, keluarga aktivis HAM Munir, dan para korban peristiwa 1965.
Namun meski telah empat tahun menggelar aksi, tuntutan agar kasus pelanggaran HAM yang mereka alami segera ditangani, tak kunjung dipenuhi. Untuk itu, tiap Kamis sore, keluarga dan para korban terus datang ke depan Istana Merdeka. Berpakaian serbahitam dan menyandang payung yang juga berwarna hitam bertulis kasus pelanggaran HAM, mereka berdiri mematung, melakukan aksi diam. Entah sampai kapan.
Pada saat orang-orang terzalimi itu terus berjuang mencari keadilan, kabar menggembirakan tersiar dari Negeri Belanda. Pada 14 September lalu, Pengadilan Sipil Den Haag mengabulkan gugatan korban pembantaian di Rawagede, Karawang tahun 1947. Meski perdata, keputusan itu dapat dimaknai sebagai kemenangan besar. Kemenangan yang tidak hanya menjadi milik warga Rawagede, namun juga seluruh korban pelanggaran HAM.
Pengadilan kasus Rawagede bisa menjadi preseden bagi pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain, baik yang terjadi pada masa kolonial, maupun era sesudahnya. Majelis hakim menolak argumentasi Pemerintah Belanda yang menyebut kasus pembantaian ratusan warga sipil di Desa Rawagede oleh militer Belanda itu telah verjaard atau kedaluwarsa. Itu menyiratkan pesan, bahwa tidak ada istilah terlambat untuk mengungkap crimes against humanity, kejahatan atas kemanusiaan.
Dengan demikian, kasus pembantaian ribuan warga sipil di Sulawesi Selatan oleh Kapten Raymond Westerling pada 1949, penghilangan nyawa 2.922 warga Kuta Reh, Gayo, Aceh, pada 4 Juni 1904, pembunuhan, penyiksaan, dan pemenjaraan terhadap jutaan orang yang dituduh kiri pasca-Peristiwa 1965, kasus Talangsari Lampung pada 1989, DOM Aceh, Semanggi I dan II, serta Trisakti, yang selama ini terbengkalai, berpeluang untuk dibuka kembali. Jika itu terjadi, setidaknya bangsa ini akan bisa melangkah lebih ringan, karena lepas dari beban sejarah.