Angga (warga Solo) dan bus Sumber Kencono (SK) ibarat satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Bekerja di Surabaya dengan gaji yang cukup lumayan, lajang berusia 31 tahun ini tetap memilih bus dengan rute Surabaya-Solo-Yogyakarta itu.
”Alasannya mudah, selain murah juga cepat. Berangkat dari Surabaya pukul 23.00, sampai Solo pukul 04.00, berarti hanya lima jam,” kata Angga, kemarin.
Namun itu cerita dulu. Ketika dia akhirnya memutuskan untuk lebih memikir lagi untuk menaiki bus tersebut. Apalagi setelah beberapa kali bus SK terlibat kecelakaan yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa.
”Beberapa kali juga hampir terjadi insiden dengan kendaraan lain. Ya truk, mobil dan motor. Berhenti mendadak sering banget dan sudah menjadi kebiasaaan buat SK. Tapi itu memang yang membuatnya cepat sampai tujuan,” ujar dia.
Sekarang Angga pun lebih memilih dengan bus Patas, Eka. ”Idealnya cepat dan selamat. Tapi gak mungkin, ya. Kalau saya sekarang milih selamat. Pelan meski gak pelan-pelan banget tapi gak ugal-ugalan deh,” sambungnya.
Setali tiga uang, Hastomo (43), warga Desa Tumpangkrasak Kecamatan Jati, Kudus, mengaku masih trauma atas kecelakaan bus yang ditimpanginya, Juli 2011. Hingga kini ia tidak berani tidur malam dalam bus.
Menurut informasi, kelalaian salah jalur akibat sopir memainkan handphone untuk menyetel musik. Dengan demikian, ketika ada pengalihan arus, tidak diperhatikan, sehingga terjadi tabrakan sesama bus. Dalam kejadian itu, Hastomo hanya luka ringan. Namun trauma yang ditimbulkan membuatnya waspada ketika naik bus. ”Sebetulnya PO bus saya tidak terkenal maut, tapi kelalain sopir membuat kami terluka,” katanya.
Berbeda dengan Angga dan Hastomo, Agung (34), warga Pekalongan mengaku, bus ekonomi yang biasa ditumpangi berjalan lambat dan sering ngetem. ”Dari Pekalongan sampai Pemalang yang jaraknya 30 km, waktu perjalanan butuh 45 menit hingga satu jam. Pernah saya hampir marah karena lama sekali, hingga 1,5 jam perjalanan,” ungkap dia.
Mencari solusi pemecahan penyebab kecelakaan bus akibat sopir mengebut seperti mengurai benang kusut. Rumit dan tidak bisa satu pihak dipersalahkan tanpa melihat keterlibatan pihak lain. ”Permasalahan ini bagaikan lingkaran setan. Saling mengait dan memunculkan terjadinya kecelakaan penyebab sopir bus ngebut,” kata Pemilik PO Rajawali, Krisjanto Hanggarjito.
Bukannya ingin membela sopir, ketika Krisjanto mengganggap kecelakaan lalu lintas disebabkan karena mengebutnya pengemudi bus. Tapi dia menginginkan masyarakat tidak terjebak dengan satu paradigma pemikiran.
”Kalau boleh jujur, para penumpang sendiri memberi andil sehingga menyebabkan seorang sopir mengemudikan bus dengan kecepatan tinggi,” tegas dia.
Menurutnya, di tengah-tengah mobilitas masyarakat yang semakin tinggi juga membuat semuanya ingin serba cepat. ”Penumpang saat ini ingin segera sampai di tujuan. Sekarang idealnya waktu tempuh Solo ke Semarang itu lima jam. Nah, sekarang apa ada penumpang yang mau dengan waktu tempuh selama itu. Akibatnya, sopir pun terpacu untuk segera sampai tujuan,” ujar dia.
Mepetnya waktu keberangkatan satu bus dengan bus lain, dianggap Krisjanto, sebagai pemicu sopir bus ngebut. Apalagi dengan time table yang dikeluarkan Dinas Perhubungan setempat, yang dinilainya juga sangat pendek. Dia mencontohkan dengan waktu tempuh dari Dishub untuk bus jurusan Solo-Semarang hanya 2 jam 45 menit yang dihitung mulai dari Terminal Tirtonadi Solo sampai Terminal Terboyo Semarang. Selain untuk bus AKDP (antar kota dalam provinsi), time table ini juga berlaku bagi bus malam AKAP (antar kota antar provinsi).
”Kami bukan pesawat terbang yang bisa didelay. Ketika melebihi time table, itu sudah milik PO lain. Kami tidak boleh memakainya,” sambung pemilik PO dengan 16 armada untuk jurusan Solo-Semarang itu.
Masalah mengejar setoran sehingga menyebabkan sopir bus mengebut, dibantah Yohan Budiman, pengelola PO Rela. Pemilik 40 armada yang memegang trayek Solo-Purwodadi PP ini mengaku tidak menerapkan batas setoran ke sopir mereka.
Gengsi membawa maut. Yohan mengaku, saat ini hampir semua perusahaan bus sudah tidak menerapkan kejar setoran. Tapi, Yohan juga tak menutup bahwa adanya gengsi antara satu sopir dan sopir lain, bisa menyebabkan pengemudi ngebut.
Lantas, bagaimana kalau sopir bus mereka terlibat kecelakaan? Kedua pengelola ini sama-sama sepakat menyerahkannya langsung ke sopir jika berujung pada tindakan pidana.
”Kalau sopir menabrak dan korbannya meninggal lalu diperkarakan, sopir yang menjalaninya. Tapi kami tetap memberi bantuan uang duka ke korban,” tandas pemilik PO Rajawali Krisjanto Hanggarjito.
Sedangkan pemilik Perusahaan Otobus (PO) Dedy Jaya Brebes, Dr (HC) H Muhadi Setiabudi mengatakan, sopir ngebut disebabkan mereka harus mengejar waktu sampai terminal, sebagai pusat para penumpang. Jika terlambat, maka akan kehilangan penumpang.
Di mata H Muhadi, keselamatan penumpang bus menjadi paling utama dalam mengembangkan usaha. Ia mempunyai trik yang cukup jitu untuk menekan kecelakaan yang menimpa busnya. Bahkan, dari catatan perusahaan dalam setahun, angka kecelakaan bisa ditekan hingga lima persen. ”Itu pun rata-rata kecelakaan ringan.”
Terhadap hal ini, langkah yang dilakukan adalah memberikan bonus khusus bagi para sopir yang tidak mengalami kecelakaan selama waktu tertentu. Langkah itu sebagai upaya perhatian dan bentuk pemberian tanggung jawab penuh terhadap sopir dan kru bus. ”Kalau sopir dalam setahun tidak mengalami kecelakaan, saya beri bonus televisi. Sedangkan sopir yang tidak mengalami kecelakaan selama 10 tahun, saya beri bonus naik haji. Tahun ini ada dua sopir yang naik haji karena prestasi itu.”
Di samping memberikan bonus, lanjut dia, perusahaan juga memberikan sanksi tegas bagi sopir yang ugal-ugalan dan mengalami kecelakaan. Sanksi berat bisa berupa pemecatan.
Di bagian lain, sejumlah awak bus jurusan Surabaya-Yogyakarta memahami betul perhatian masyarakat luas atas pelayanan yang mereka berikan. Hal itu mengacu pada sejumlah peristiwa kecelakaan yang terjadi.
Kholil (32), sebut saja begitu, sopir muda bus Sumber Kencono mengaku, aksi kebut-kebutan yang dilakukan bukan tanpa alasan. Berpacu dengan waktu dan persaiangan sesama PO lain menuntut dirinya harus bergerak lebih cepat. Bukan asal menginjak gas dalam-dalam saja. Bekalnya tentu saja kelihaian dan kemampuan membaca medan (jalan). ”Betul saya ngebut, tetapi saya selalu memperhitungan medan dan jarak kendaraan lain,” tegasnya membela diri.
Tiap tikungan, tanjakan dan kondisi jalan Yogyakarta-Surabaya sudah dia hafal betul. Hal yang lebih penting adalah kondisi bus, baik mesin, rem harus prima. ”Jadi kalau sampai terjadi kecelakaan itu juga apes. Tetapi saat memacu kendaraan, sebagai sopir tetap konsentrasi karena bus tidak membawa sayur.”
Sementara itu Junaidi (40), kernet bus ekonomi pada jurusan yang sama menambahkan, bahwa pengenalan medan sangat penting bagi sopir dan kernet. ”Biasanya kalau sopir dan kernet berpengalaman, meski ngebut bisa selamat dan tiba pada waktunya. Tetapi kalau di luar itu, mungkin ada awak bus pocokan atau mungkin bus tersebut sedang apes,” katanya.
”Kalau tidak karena alasan perut dan sulitnya mencari pekerjaan, mungkin saja kami tidak menjadi awak bus, mas,” kata mereka kompak.
Menurut kedua orang yang berpengalaman menjelajah Pulau Jawa di atas bus ini, semua pekerjaan pasti ada risikonya. Dan profesi sebagai awak bus adalah pekerjaan yang paling berat, karena taruhannya nyawa. Namun kemampuan itulah yang sekarang ini bisa diandalkan.