Itulah ajakan beberapa lelaki yang duduk di bangku kecil terbuat dari kayu di sepanjang jalan beraspal yang panjangnya kurang dari 300 meter, pagi itu. Lelaki itu duduk di pinggir jalan yang menghubungkan antara Jalan MT Haryono dan Jalan Dr Cipto, sebagian di antaranya hanya duduk beralas kardus bekas dan sobekan terpal.
Gerobak dorong dengan rak di atasnya berjajar kaleng cat beragam warna seperti pelangi diletakkan di belakangnya. Nampak juga beberapa lelaki yang menawarkan jasa pengecatan dan las kenteng berdiri di depan bangunan semi permanen dengan papan berukuran dua kali satu meter, maupun di depan bangunan permanen dari tembok dan beratap asbes.
Di tepi jalan itu, mobil beragam merek yang catnya mulai mengelupas, bamper penyok, pintu tergores, hingga kap yang retak, juga nampak berjajar memanjang. Papan bertuliskan Bengkel Cat dan Las Kenteng yang memajang nama pemiliknya hingga tanpa nama, berdiri di sepanjang jalan itu. Di jalan yang memiliki lebar kurang dari empat meter itu juga berdiri bangunan mirip garasi yang digunakan sebagai bengkel cat dan perbaikan badan mobil.
Sebuah mobil Toyota Kijang keluaran 1992 hijau metalik berjalan pelan, kemudian menepi. Lelaki paruh baya berkaus merah bercelana jin membuka pintu dan menghampiri lelaki yang sedang menghaluskan pintu jip Hardtop usai dioles dengan dempul kuning.
”Pak, ongkos mengecat bumper dan pintu belakang berapa? Bisa saya tunggu atau ditinggal?” tanya lelaki pemilik Toyota Kijang itu. ”Coba saya lihat dulu,” kata pemilik bengkel cat sembari berjalan melihat kondisi pintu dan bumber yang dimaksud sang pemilik bengkel itu. ”Semuanya total Rp 750 ribu saja. Karena saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu, sebaiknya ditinggal, nanti dua hingga tiga hari kesini lagi,” ujarnya.
Ya, itulah aktifitas kehidupan sehari-hari di Kampung Ligu, demikian orang menyebut kawasan yang ada di Jalan Ligu Tengah ini. Bengkel yang berdiri sejak 1940 itu sebelumnya bukan kawasan usaha jasa pengecatan, namun hanya sebuah bengkel sepeda ontel dan dokar milik Mbah Kamin pada masa kekuasaan Belanda.
”Ada warga Belanda waktu itu mobilnya penyok. Mbah Kamin dipercaya untuk memperbaikinya. Karena puas dengan hasil, warga Belanda itupun menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya. Mulai saat itu, Mbah Kamin juga melayani kenteng dan pengecatan,” tutur cucu Mbah Kamin, Muhammad Maksum (69) saat ditemui di bengkelnya Jalan Ligu Tengah 528.
Seiring waktu berjalan, karena usia makin tua, usaha Mbah Kamin pun diteruskan oleh anaknya, Ahmad Salim. Warga Belanda maupun warga Semarang yang memiliki mobil pun jumlahnya terus bertambah, terpaksa Ahmad Salim menambah karyawannya hingga delapan orang untuk membantunya.
”Belum sempat lulus SD, saya memutuskan untuk membantu bapak. Dan sekarang karena saya sudah tua, usaha bengkel yang sudah masuk generasi keempat ini dipegang anak saya, Robi Kristanto dan Beni Kristiadi,” ujar suami Kardinah (64).
Dikatakan, sekitar 30-an bengkel yang kini ada di kawasan itu didirikan oleh mantan karyawan Mbah Kamin maupun mantan karyawan ayahnya yang tentunya telah memiliki pengalaman panjang dalam usaha perbaikan bodi mobil, mulai dari kenteng, las bodi, hingga pengecatan.
Untuk mempertahankan kualitas dan menjaga hubungan serta kepercayaan terhadap konsumennya, Beni Kristiadi (30) yang memajang Mbah Kamin sebagai nama bengkel itu, pemilihan cat dan spare part berkualitas menjadi hal yang diutamakan.
”Pelanggan di bengkel ini, tak hanya dari dalam Kota Semarang saja. Warga dari Kabupaten Semarang, Kendal, Demak, Kudus, Jepara, dan Purwodadi telah menjadi pelanggan tetap kami,” ujar Beni.
Ongkos yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk mengecat seluruh bodi mobil, Beni mematok Rp 7,5 juta. Untuk pengecatan ringan seperti pintu atau bumper, ia mematok ongkos jasa mulai Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta per panel. Usaha turun temurun yang dibantu empat saudaranya itu, kerap terkendala faktor cuaca. ”Kalau musim penghujan, untuk mendapatkan uang sangat susah. Kualitas hasil pengecatan tidak maksimal. Selain itu, berdirinya bengkel asuransi yang mulai merebak di Kota Semarang, tentu menjadi tantangan usaha ini,” ujarnya.
Potensi Dikembangkan
Kepala Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, Rahayuningsih SSos MM mengaku, keberadaan bengkel di wilayah kerjanya itu selain mengangkat nama daerah, juga membantu mengurangi angka pengangguran.
”Tiap bengkel juga memberi kontribusi untuk pembangunan di kelurahan ini tiap bulannya,” katanya.
Terkait ketertiban, pihaknya juga selalu memberi nasehat kepada para pemilik bengkel untuk memarkir kendaraan konsumennya dengan benar. Sehingga tidak mengganggu pengguna jalan yang melintas di kawasan itu. Sebagai salah satu potensi ekonomi, pihaknya berencana memindahkan bengkel itu ke lahan di sisi selatan Pasar Dargo yang saat ini kosong.
”Agar usaha tersebut terus dapat berkembang, kami memiliki lahan yang lebih luas dan panjang. Kedepan, kita juga akan bicarakan dengan PT Investindo sebagai pengelola lahan untuk pengembangan usaha perbengkelan ini.”
Menanggapi rencana Pemerintah Kelurahan tersebut, Muhammad Maksum mengaku setuju asal lahan yang nantinya ditempati lebih luas. Sementara tempat yang lama dapat dimanfaatkan sebagai kantor untuk penjualan cat ataupun urusan administrasi.
”Keberadaan kampung bengkel tentu jangan sampai hilang. Simbolnya tetap ada, hanya pengerjaan di tempat baru, saya kira tidak menjadi masalah,” katanya.