BAGAIMANAKAH jika semua aktivitas manusia menjadi lumpuh bila suatu saat bahan bakar minyak dan gas bumi habis? Apakah peradaban beberapa abad silam akan terulang kembali di masa yang akan datang? Mimpi buruk itu bisa saja menjadi kenyataan pada tahun 2070. Akan tetapi, perkiraan lain menyebutkan tidak akan secepat itu, karena masih ada beberapa terobosan energi alternatif yang bisa diandalkan, misalnya saja batu bara yang pemanfaatannya di tingkat dunia bisa bertahan hingga tahun 2300.
Keberadaan bahan bakar energi tak terbarukan itu dan sejenisnya berdasarkan data sejak tahun 1970 tidak lebih dari tiga abad lagi, semua sumber energi itu akan tamat riwayatnya.
Agar generasi mendatang tak mengalami nasib buruk itu, kini beberapa negara mulai mengembangkan energi terbarukan, di antaranya yang makin populer adalah sel surya (solar cell).
Sel surya adalah teknologi mengubah cahaya matahari menjadi energi listrik dengan menggunakan photovoltaics . Secara umum cara penggunaan tenaga matahari ini dibagi dua, yaitu aktif dan pasif. Penggunaan secara aktif yaitu menggunakan teknologi panel photovoltaic atau panel tenaga surya untuk mengumpulkan energi listrik. Sementara cara penggunaan secara pasif adalah dengan cara mengatur arah bangunan, menggunakan material yang menyerap panas dan desain bangunan yang secara alami memperlancar sirkulasi udara di dalam bangunan.
Menurut data Photovoltaic Energy System Inc, sejak dipasarkan tahun 1977, volume produksi sel surya pada tahun 2011 mencapai 757,9 megawatt. Jumlah itu terbesar dipasok Jepang (351 megawatt), sedikit di atas Kalifornia dan Nevada AS (344 megawatt), dan negara-negara Eropa (116,4 megawatt).
Pemanfaatan energi alternatif yang melimpah, bersih, dan tak habis-habisnya itu, terus dikembangkan untuk berbagai keperluan. Upaya itu antara lain dilakukan oleh Jepang secara gencar. Dengan Proyek Genesis Global Energy Network Equipped with Solar Cell and International Superconductor Grids) negara Matahari Terbit itu bercita-cita menggelar sistem energi surya photovoltaics di seluruh dunia, yang dipadukan dengan jaringan transmisi daya superkonduktor bertemperatur tinggi. Listrik yang dibangkitkan sel surya melalui jaringan itu akan dipasok secara stabil ke seluruh dunia.
Bila dijajarkan pada areal seluas 800 X 800 km persegi, sistem sel surya yang memiliki efisiensi konversi 10 persen itu dapat memasok energi setara dengan kebutuhan BBM dunia pada tahun 2010, yaitu 14 miliar kiloliter selama setahun. Lahan seluas 640.000 km persegi yang diperlukan itu hanya sekitar 4 persen dari total luas areal gurun pasir di dunia.
Penerapan sel surya sangat luas. Perusahaan Jepang di bidang transportasi umum, misalnya, mengembangkan bukan hanya mobil surya, tapi juga untuk sepeda motor, kapal pesiar hingga pesawat terbang dan balon udara .
Di Amerika Serikat, pesawat bersayap panjang Solar Impulse HB-SIA bertenaga surya, yang pernah diuji coba pada pameran dirgantara Paris Air Show 2011, mampu terbang selama 36 jam nonstop dengan kecepatan 70 km/jam, tanpa bantuan satu liter pun bahan bakar fosil. Pesawat ini murni memanfaatkan energi surya yang diperoleh dari 11.628 sel surya yang ditempatkan pada penampang sayapnya. Untuk terbang dari Brussels, Belgia, menuju Paris, Prancis, yang berjarak 262 kilometer dibutuhkan waktu 16 jam.
Sebelum masuk ke berbagai aplikasi komersial, teknologi sel surya terutama untuk mengubah energi surya langsung menjadi listrik hanya ada untuk program angkasa luar. Sel-sel kristal sililkon yang digunakan pada proses ini, meskipun efisien, masih sangat mahal untuk aplikasi umum.
Perkembangannya, sel surya generasi kedua, yang terbuat dari film sangat tipis sebagai bahan penangkap sinar, dapat mengurangi biaya, tetapi tidak membuatnya cukup menarik untuk aplikasi lain, selain produk konsumen berukuran kecil seperti kalkulator dan arloji.
Kendala yang dihadapi dalam penggunaan sel surya ini adalah pada efisiensi konversi energinya yang sangat rendah. Pada umumnya, lapisan tunggal sel surya yang halus akan menyerap sedikit frkasi sinar yang sangat kecil hanya sekitar 1 hingga 2 persen. Untuk mengatasi itu, dipelajari sistem kerja daun dalam melaksanakan fotosintesis.
Dalam daun terdapat banyak lapisan klorofil yang dapat menyerap sinar yang masuk dengan baik. Untuk memberi efek yang sama pada sel surya digunakan permukaan permukaan film yang tidak halus seperti layaknya daun untuk mendukung bagian peka cahaya.
Meski demikian, tampaknya pemerintah masih pesimistis dalam pengembangan energi baru dan terbarukan.
Pengembangannya masih tersendat-sendat.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kardaya Warnika mengatakan, tidak adanya keberpihakan membuat target sulit dicapai.
Menurut dia, keberpihakan mengandung arti semua energi baru dan terbarukan harus serentak didorong untuk menggantikan energi fosil. Namun, saat ini justru energi fosil yang memperoleh subsidi.
”Harusnya EBT didorong untuk menggantikan energi fosil bukan malah sebaliknya,” kata Kardaya di Jakarta ,kemarin. Menurut dia, energi yang baru memang cenderung mahal.
Namun, justru karena itulah maka pengembangan energi baru dan terbarukan harus dilakukan secepat mungkin sehingga biayanya akan semakin berkurang. ”Seperti handphone, dulu mahal sekali, tapi sekarang murah. Jadi saya yakin cost-nya akan turun cepat sekali. Jadi, kalau kita tidak segera mulai, maka kita akan sangat tertinggal,” jelasnya.