Pandangan sudut mitologi, fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini di media pemberitaan dimana padatnya narasi angin kencang yang menerjang berbagai kawasan dunia, termasuk Indonesia, dianggap sebagai kutukan karena menimbulkan bencana.
Namun, dari sudut pandang teknologi, datangnya angin bisa menjadi berkah jika dikelola secara kreatif. Angin merupakan energi gratis karunia Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan kincir dan memproduksi listrik.
Angin tergolong jenis energi terbarukan yang dapat dengan cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan.
Konsep energi terbarukan mulai dikenal pada tahun 1970-an, sebagai upaya untuk mengimbangi pengembangan energi berbahan bakar nuklir dan fosil.
Sumber angin dunia sangat melimpah dan menyebar di semua kawasan. Saat ini, tenaga angin telah dimanfaatkan oleh sekitar 50 negara di dunia. Ladang angin saat ini menyediakan tenaga besar yang setara dengan pembangkit listrik konvensional. Dengan pemanfaatan teknologi saat ini, tenaga angin diperkirakan dapat menyediakan 53.000 terawatt/jam setiap tahun.
Perkembangan teknologi dalam dua dekade terakhir menghasilkan kincir angin yang mudah dipasang. Saat ini, sebuah kincir angin modern, 100 kali lebih kuat daripada turbin dua dekade lalu. Seiring meningkatnya pasar, tenaga angin memperlihatkan menurunnya biaya produksi hingga 50%.
Saat ini, di wilayah yang anginnya maksimum, tenaga angin mampu menyaingi PLTU batu bara teknologi baru dan pembangkit listrik tenaga gas alam.
Menurut catatan Greenpace, selama beberapa tahun terakhir, pemasangan kapasitas angin meningkat melebihi 30%. Hal tersebut membuat target untuk menjadikan tenaga angin mampu memenuhi kebutuhan energi dunia hingga 12 persen pada tahun 2020. Dengan terus meningkatnya ukuran dan kapasitas rata-rata turbin, diperkirakan pada tahun 2020 biaya pembangkit listrik tenaga angin pada wilayah yang menunjang akan turun hingga 2.45 sen per KWh, lebih murah 36 persen dari biaya pada tahun 2003 yang mencapai 3.79 euro/KWh.
Dari aspek lingkungan, keuntungan terpenting dari energi angin adalah berkurangnya level emisi karbon dioksida penyebab perubahan ikilm. Tenaga angin juga bebas dari polusi yang sering diasosiasikan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan nuklir dan mengurangi emisi CO2 hingga 10.700 juta ton.
Sayang, kemajuan teknologi ini baru diusahakan segelintir pihak, yang dipimpin oleh Jerman, Spanyol dan Denmark. Negara-negara lain belum mengembangkan industri listrik tenaga angin secara maksimal.
Indonesia sendiri, dalam memenuhi kebutuhan listriknya masih mengandalkan PLTA dan PLTU, tentunya dengan biaya yang tidak sedikit.
Di Indonesia, pemanfaatan angin untuk pembangkit listrik dilakukan dalam skala terbatas. Sejumlah proyek uji coba sudah dipasang di sejumlah daerah, seperti Jepara, Bulukumba, Nusa Penida di lepas pantai Bali dan lainnya. Di Pantai pantai Pandansimo, Bantul, Yogyakarta juga telah dikembangkan pemanfaatan energi listrik hibrid dari hasil kombinasi energi angin dan energi panas matahari yang dipelopori Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Ristek). Kecepatan angin laut dan angin darat di pantai Pandansimo rata-rata 3-4 meter/detik dan intensitas sinar matahari yang besar dan tetap.
Terdapat 35 unit turbin angin yang sudah dipasang dengan tinggi rata-rata 18 meter . Terdiri 26 turbin angin dengan kapasitas 1 kw, 6 turbin angin 2,5 kw, 2 turbin angin 10 kw, dan satu turbin angin 50 kw. Ditambah 175 unit sel surya dengan kapasitas 17,5 kwp.
Teknologi Kincir Angin
Amerika Serikat punya cerita lain. Laporan American Wind Energy Association (AWEA) itu menyebutkan bahwa 20% dari seluruh energi yang digunakan di seluruh negeri itu dihasilkan dari tenaga angin. Mereka telah merilis 10 kincir angin tercanggih. Perusahaan WhalePower sengaja mendesain kincir angin mirip pisau kareya diyakini mampu meningkatkan efisiensi listrik yang dihasilkan hingga 20%.
Kincir mutakhir tersebut didesain dalam berbagai tipe sesuai tempat dan kepentingan yang berbeda. Tipe Quiet Revolution, misalnya, digunakan pada daerah perkotaan dengan kecepatan angin rendah. Kincir ini mampu menangkap angin dari seluruh penjuru sehingga menghemat tempat.
Sementara untuk daerah lepas pantai, pulau dan pulau tengah laut dibuat kincir MARS (Mageen Air Rotor Systems). MARS adalah kincir angin yang diletakkan di tempat sangat tinggi. Berisikan helium, benda ini mampu bertahan hingga ketinggian 1000 kaki di udara. Angin yang ditangkap akan membuat MARS berotasi pada porosnya, ini akan menghasilkan energi yang langsung ditransfer pada kabel ke darat.
Bagi masyarakat kurang mampu, disediakan kincir Windbelt berukuran mini. Kincir ini didesain oleh peraih penghargaan PM Breakthrough, Shawn Frayne. Mampu menghasilkan 40 milliwatt pada kecepatan angin 10mph dengan biaya produksi yang murah dengan pasokan listrik yang baik.
Sementara untuk keperluan pertanian, perumahan dan gedung-gedung dibuat kincir angin vertikal yang mampu bekerja dengan baik pada kecepatan angin rendah.
Misalnya Architectural Wind, kincir angin berukuran kecil yang bisa ditaruh di atas atap atau ujung gedung. Dengan asumsi bahwa angin yang sudah menabrak atap gedung mengakibatkan aliran udara lebih cepat, maka kincir ini mampu memanfaatkan pisau-pisaunya untuk menangkap aliran tersebut.
Indonesia perlu belajar banyak pada negara-negara maju. Jika tidak, maka angin yang bertiup di negeri ini hanya menghasilkan bencana.